Jumat, 05 Desember 2008

cerpen "Terbunuhnya buya Katidiang"



Terbunuhnya Buya Katidiang

Yusriandi Pagarah *)

Datangnya bulan suci Ramadhan di kampungku selalu digadang semarak. Ibarat menyambut kedatangan orang rantau yang sudah lama tidak pulang. Seperti kerinduan orang tua yang menunggu kepulangan si anak hilang yang kini tersiar kabarnya. Tapi tetap saja nuansa bulan Ramadhan kali ini terasa sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Apalagi waktunya bersamaan dengan tekad daerahku mencanangkan sistem pemerintahan nagari, setelah beberapa lama menerapkan sistem pemerintahan desa, yang katanya kurang berkenan dengan suasana masyarakatku.

Spanduk berbagai ukuran bertuliskan baliak ka nagari dipajang pada beberapa tempat strategis di kampungku. Bahkan yang dipancang di pandam meliuk-liuk dikisai semilir dari pepokok karet berdaun rimbun. Kebahagian ini semakin sempurna dengan diresmikan oleh bupati dua lembaga pendidikan jelang tahun ajaran baru lalu, masing-masing terletak di samping masjid Tahmid Simpanglimo dan lapangan sepakbola Tanahdabuih.

Ditemani sisa histeria baliak ka nagari yang bergelantungan di tanduk-tanduk rumah gadang yang kini banyak dibangun lagi, penduduk kampungku menanti bulan Ramadhan dengan penuh harap. Surau-surau suku yang dulu mati suri dihidupkan kembali. Mushala-mushala terpencil yang terletak di bantaran sungai yang biasa dihuni jamaah suluk yang melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah selama empat puluh hari, juga mendapat perhatian khusus dari wali nagari yang baru dilantik. Masjid yang terdapat di setiap jorong telah sedari sebulan sebelumnya dirias rapi. Lengkap dengan aneka ancangan kegiatan selama bulan Ramadhan kali ini.

Sehari sebelum puasa kaum muda kampungku pergi balimau ke sejumlah tempat pemandian. Danau Maninjau di Bukittinggi, danau Singkarak di Batusangkar, Batang Tabik di Payakumbuh dan danau kembar Diateh-Dibawah di Solok ramai dikunjungi. Lembah Anai di Padang Panjang dengan panorama air terjunnya nan rancak sorga bagi mereka yang ingin menghirup udara sejuk-segar dengan latar hijau hutan yang lebat. Mereka yang berhasrat bergelut dengan gulungan ombak tinggal memilih mana yang sesuai dengan selera. Apakah ke pantai Karolin di Pariaman, pantai Airmanis dekat Muaro Padang atau ke mencerap indahnya pantai Nirwana yang terletak di pinggir jalan menuju Kerinci dan Bengkulu. Sementara para orang tua sibuk membersihkan dan menziarahi pandam leluhur.

Tradisi mambantai digelar lagi di selatan pandam Palokoto. Waktunya pada hari Kamis menjelang datangnya bulan Ramadhan. Karena itu dinamakan juga Pakan Kami. Dikelola oleh kelompok julo-julo yang sepersukuan atau dari kelompok tani yang sama. Pasar daging segar ini sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan daging bagi anggotanya. Sisanya dijual dan dimasukkan dalam kas kelompok. Daging Pakan Kami digunakan kaum ibu kampungku sebagai juadah untuk manjalang mertua dan mamak terdekat sebelum puasa.

æææ

Masa peralihan ini memantik kekacauan hebat di kampungku. Tragisnya lagi, meminta korban, seseorang yang sangat dihormati di kampungku. Namanya Syahril Umam Datuk Palimo Kayo, dan biasa dipanggil Buya Palimo Kayo. Beliau imam tetap masjid Nurul Falah jorong Koto Tinggi, mantan ketua kerapatan adat nagari dan sering diundang ke berbagai tempat untuk memberi pengajian. Kematian Buya Plaimo Kayo terbilang nekad dan sadis. Pelakunya berani membunuh orang yang bukan orang sembarangan. Karena Buya Palimo Kayo dimuliakan secara adat dan agama. Didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Terdapat banyak luka tusuk di perut, dada dan leher korban nyaris putus. Hinanya lagi, celana dalam korban diletakan di kepalanya dan peci hajinya digantung di telinganya. Tubuh korban diikat ditunggul pepokok asam di samping kandang sapi yang berada di ujung nagari.

Seminggu kemudian, di saat kenangan manis bersama Buya Palimo Kayo bagi penduduk kampungku tinggal di merahnya tanah kuburan, sang pelaku baru dapat diringkus pihak berwajib. Siapa yang menyangka pelakunya keluarga terdekat beliau. Siapa pula yang menyangka bila otak di balik pembunuhan tersebut orang-orang terpandang di kampungku. Terencana dan berantai.

Pelaku pembunuhan tersebut tak lain adalah kemenakan Buya Plimo Kayo sendiri. Rizal Efendi namanya. Sang kemenakan sampai hati melakukan perbuatan terkutuk itu karena permintaannya untuk menggadaikan sawah sebagai modal membuka usaha photo copy di Pekalongan Jawa Tengah tak kunjung direstui sang mamak. Kemenakan termakan hasutan pihak luar yang sengaja menangguk ikan di air keruh. Apalagi ia amat lihai mengaduk-aduk perasaan sang kemenakan hingga gelap mata. Bagai bara api disiram minyak tanah. Bergelora. Seperti luka yang ditetesi air asam. Perih.

Siapa yang tidak kenal dengan Datuk Tanameh yang mahir sekali berpetatah-petitih adat dan sering disewa untuk keperluan baralek. Datuk Tanameh menaruh kesumat karena Buya Palimo Kayo terang-terangan memihak Edi Tampalo dalam pemilihan wali nagari empat bulan lalu. Karena bagaimana pun, dimana-mana pilihan seorang ulama akan diikuti banyak orang. Akibatnya Datuk Tanameh kalah telak. Padahal ia telah mengeluarkan banyak pitih dalam kampanye tersebut.

Pihak kedua yang punya andil terbunuhnya Buya Palimo Kayo adalah seorang ninik mamak terkemuka di kampungku. Ismail Tayeb Datuk Rajo Sangano namanya. Petinggi suku Chaniago ini pernah dikalahkan Buya Palimo Kayo dalam pemilihan ketua kerapatan adat nagari beberapa tahun silam. Kebencian Datuk Rajo Sangano semakin tak terbendung akibat kekalahannya dalam sengketa batas tanah ulayat. Pengadilan memenangkan pihak Buya Palimo Kayo.

Sahabat akrab beliau sesama penyiar agama, Buya Malin Dubalang, berperan juga dalam pembunuhan tersebut. Di usia muda, keduanya pernah sama-sama belajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Gurun dibawah asuhan almarhum Buya Ramli Bakar. Sepeninggal Buya Ramli, keduanya melanjutkan pendidikan ke Malalo di bawah asuhan Buya Bustami Rauf. Keduanya juga sama-sama menunaikan ibadah haji lima tahun lalu. Kabarnya, Nurhayati Dahlia, putri bungsu Buya Palimo Kayo yang belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang, akan dijodohkan dengan putra tunggal Buya Malin Dubalang, Ahmad Hafiz Syahril, yang kuliah tingkat akhir di Kairo.

Sejatinya perseteruan dua buya ini dipicu oleh sengketa paham. Ceritanya, beberapa waktu setelah resmi baliak ka nagari, Buya Malin Dubalang berniat menggunakan bahasa Arab dalam khutbah Jumat dan khutbah hari raya kelak. Buya Malin Dubalang juga meminta salah satu masjid untuk melaksanakan niatnya itu. Namun niat tersebut kandas dalam rapat nagari. Karena dikuatirkan akan memecah belah nagari. Buya Palimo Kayo termasuk orang yang getol menolak keinginan Buya Malin Dubalang. Menurutnya, khutbah berbahasa Indonesia saja masih banyak jamaah yang mengantuk. Apalagi berbahasa Arab. Jangan-jangan khatib sendiri tidak paham apa yang dibacanya, sergahnya.

Perlawanan kelompok Buya Malin Dubalang semakin kentara dalam menetapkan awal puasa lalu. Kelompok Buya Malin Dubalang terlambat dua hari, baru berpuasa setelah ada kabar terlihat hilal dari Ulakan di pantai utara Pariaman. Suasana yang sudah memanas ini diperkeruh oleh pernyataan Buya Palimo Kayo bahwa bulan Ramadhan bulan panennya buya-buya. Mestinya bulan Ramadhan tempat untuk memberi dan bukannya tempat untuk mengeruk keuntungan pribadi semata. Apalagi dengan jalan menjual ayat-ayat Tuhan dan memecah belah umat.

Masyarakat langsung mengaitkan ke mana arah ceramah Buya Palimo Kayo. Siapa lagi yang disindir kalau bukan Buya Malin Dubalang. Merasa dijatuhkan, kontan saja Buya Malin Dubalang dan kelompoknya naik pitam. Gemetaran menahan dongkol. Dalam suatu pengajian Buya Malin Dubalang menyatakan bulan Ramadhan bulan panennya buya-buya katidiang. Para jamaah pun sudah dapat menebak ke mana arah ceramah Buya Malin Dubalang. Siapa lagi kalau bukan badan diri Buya Palimo Kayo.

æææ

Itu pertama kalinya kampungku masuk media massa. Diulas panjang lebar dalam sebuah koran kriminal ibukota. Dikupas tuntas di salah satu televisi swasta terkemuka. Bulan penuh berkah yang tengah menanti lailatul qadar ini justeru tertusuk oleh tangan yang mengaku membaktikan hidupnya di jalan yang suci. Berdarah-darah di tangan mereka yang giat mengkampanyekan mambangkik batang tarandam.

Tampak langit murung saja di atas tanduk rumah gadang dan menitipkan ruyak tukak di kubah masjid lima jorong itu.

Sungguh-sungguh kusaksikan langit tiris mengguyur salingka nagari.

//Purworejo Kota Berirama, akhir Agustus 2006

*) Alumni PP. Darul 'Ulum Tigo Jangko Lintau dan MAN/MAKN Lima Kaum Batusangkar. E-mail: yinqo_asyiqo@yahoo.com

1 komentar:

syukri rahmi (Syukri) mengatakan...

cerpenya sangat menarik sekali
kembangkan bakat kanda ya..........
kami mendukung
kalau bisa ukirlah sebuah sejarah MAN/MAKN2 batusangkar
dan tulisan laingnya
yakusa "yakin usaha samapai"
by, Syukri Rahmi
Panggilan syukri
Angkatan 2006 jurusan 3 IPS2
Hp.085263393703
no HP abg Brp?